Anak Autis Bukan Tanpa Masa Depan
JAKARTA. Anak autis bukan anak yang tanpa masa depan. Mereka sama dengan anak lainnya yang memiliki harapan.
Hal itu disampaikan Dirjen PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi,
Psikolog, ketika mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad
Nuh, pada Peringatan Hari Autis Sedunia yang diselenggarakan Komite
Orang Tua Siswa Autis Kota Bekasi di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta,
Sabtu (13/4).
Menurut Dirjen, selain memiliki harapan, anak autis juga punya hak
untuk hidup layak dan hak mendapatkan pendidikan yang sesuai. “Kita
harus memahami bahwa autisme adalah suatu kondisi seseorang sejak lahir
ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk
hubungan sosial atau komunikasi yang normal,” tambah Prof. Dr. Lydia
Freyani Hawadi.
Dunia, kata Reni Akbar-Hawadi–sapaan akrab Lydia Freyani Hawadi–telah
memberikan perhatian besar pada anak-anak disabilitas termasuk Autis.
Resolusi PBB Nomor 61/106 Tahun 2006 tentang konvensi hak-hak penyandang
disabilitas mendorong semua negara untuk menindaklanjutinya.
“Indonesia sudah meretifikasi konvesi ini melalui UU No. 19 yang
intinya memuat secara komprehensif hak-hak penyandang disabilitas di
bidang sosial, ekonomi, politik, sipil, dan budaya,” tambah Guru Besar
Psikologi Anak di Universitas Indonesia itu lagi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2001 menyatakan bahwa anak
dengan keistimewaan khusus juga memiliki hak keberfungsian sosial untuk
melakukan aktivitas dan partisipasi secara aktif sesuai dengan kondisi
kesehatannya dan faktor kontekstual (lingkungan dan personal).
“Make things the real”
Tahun 2012 bertempat di Incheon, Korsel, dunia mengajak seluruh
bangsa untuk mewujudkan dunia nyata untuk para penyandang disabilitas
dengan moto ‘make things the real‘ yang implementasinya semua
sektor layanan publik termasuk pendidikan memasukkan kebijakan dan
menerapkan layanan yang ramah bagi penyandang disabilitas.
“Bulan-bulan terakhir ini Tim Kelompok Kerja Program untuk para
penyandang disabilitas di bawah koordinasi Kemenkesra dan Kemlu, sedang
bekerja menyusun rekomendasi program yang diharapkan dapat membantu
mereka dalam meningkatkan keberfungsian sosial secara optimal,” tambah
Dirjen lagi.
Bagi Indonesia, ujar Dirjen, komitmen Incheon itu cukup serius
mengingat banyak hal yang harus diperbaiki dan banyak hal yang akan
terus bertambah.
Karena, katanya, bila prediksi WHO benar bahwa 10 persen dari
populasi adalah penyandang disabilitas, berarti sekitar 20 juta
penyandang disabilitas di Indonesia, memerlukan akses sosial sesuai
standar. Jumlah tersebut bisa jadi akan meningkat bila masalah kesehatan
dasar tidak terselesaikan dengan tuntas.
Sebagai contoh, kata Dirjen, ibu hamil dengan masalah gizi yang
melahirkan anak yang tidak optimal perkembangannya berjumlah 59,9
persen, anak bawah tiga tahun yang mengalami gangguan gizi berjumlah
17,9 persen, anak yang mengalami stunting dan mengalami
disabilitas fisik dan intelegensia, serta adanya anak yang mengalami
hambatan tumbuh kembang karena fisik, mental, motorik, dan sensoris.
Pendidikan inklusi
Hambatan itu akan menimbulkan masalah lebih jauh, terutama bagaimana
anak usia dini bila tidak mendapatkan layanan pendidikan sedini mungkin.
Sedangkan dari data Kementerian Kesra, dari 1,5 persen individu dengan
kebutuhan khusus (lebih kurang 2 juta orang) yang mendapatkan layanan
pendidikan sekitar 20 persen yang diselenggarakan di SLB.
“Sayangnya pemerintah menghadapi banyak keterbatasan untuk menambah
SLB dan memenuhi layanan pendidikan untuk semua penyandang disabilitas
yang demikian lebar variannya,” papar Dirjen lagi.
Untuk mengatasi keterbatasan itu, Dirjen menjelaskan saat ini telah
ditetapkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
tentang Pendidikan Inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa. Di antaranya adalah
semua anak unik, dan keunikannya merupakan penguat dalam meningkatkan
mutu pembelajaran bagi anak. Kemudian, semua anak mempunyai hak yang
sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang
bermutu, termasuk semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti
pendidikan tanpa melihat kelainannya.
“Sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat bertanggung jawab dan mampu
mendidik, mengajarkan, dan belajar agar setiap individu memiliki
kemampuan untuk merespon kebutuhan pembelajaran yang berbeda,” tambah
Dirjen lagi.
Dengan mengacu keputusan itu, lanjut Dirjen, pendidikan inklusi
menjadi pendidikan untuk semua di mana lembaga pendidikan pada umumnya
mengakomodasi semua anak kebutuhan khusus, termasuk menerapkan kurikulum
serta pembelajaran yang bersifat individual dan interaktif dengan
prespektif kurikulum lebih menekankan pada pengembangan kemampuan
akedemis yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam keberfungsian
sosial.
Selain itu, jenis anak berkebutuhan khusus yang dapat mengikuti
pendidikan inklusi adalah anak dengan gangguan penglihatan, pendengaran
komunikasi, kecerdasan, emosi dan perilaku, autis, gangguan jamak, dan
kesulitan atau lambat belajar, serta gifted.
“Guru dalam pendidikan inklusi dituntut untuk melibatkan orangtua,
profesi lain, atau sumber daya lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi,” kata Dirjen. (Sugito/HK)
sumber: http://www.paudni.kemdikbud.go.id/anak-autis-bukan-tanpa-masa-depan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar