Membangun Empati di Sekolah Inklusi
Pendidikan inklusi hingga kini
masih dianggap asing di kalangan masyarakat. Banyak cerita tentang
penolakan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk masuk ke sekolah
regular karena ketidaksiapan sekolah dan masyarakat atau orang tua
siswa lainnya. “Padahal model pendidikan inklusif ini diyakini dapat
mengintegrasikan siswa regular serta siswa penyandang disabilitas dalam
program yang sama, baik dalam mengikuti pendidikan maupun beradaptasi
dengan lingkungannya. Hal ini yang saya dapat saat mengikuti program
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Belajar dan Mengajar di Autism
Spectrum Australia (Aspect) dan sekolah inklusi di Adelaide, Australia
baru-baru ini” kata Amka Abdul Aziz.
Kenyataannya, kata Amka, pendidikan inklusi masih menjadi momok bagi
sekolah, guru, dan juga orang tua siswa, baik orang tua dari siswa
disabilitas maupun nondisabilitas. Banyaknya sekolah yang tidak siap dan
masih banyaknya penolakan tersebut seakan menambah ketakutan orang tua
ABK untuk ‘mengeluarkan’ anaknya ke dunia luar, menjaga anaknya dari
kemungkinan tindak diskriminasi yang dapat menambah beban psikologis
anak maupun keluarganya. Alhasil pilihan Sekolah Luar Biasa (SLB) masih
dirasakan menjadi sebuah solusi yang paling tepat bagi anak-anak ABK.
Padahal ketika ABK bersekolah di SLB, mereka akan seperti ‘terkurung’
dalam dunianya. Selamanya hanya berkutat di dalam dunia kekhususannya,
berteman dengan sebatas teman-temannya yang juga bernasib sama.
“Menyelenggarakan sekolah inklusi adalah sebuah pekerjaan besar bukan
sekedar dukungan dari pemerintah atas segala fasilitas yang harus segera
dimiliki oleh sekolah, namun juga upaya besar guru sebagai ujung tombak
pelaksana pembelajaran. Guru yang akan membawa perubahan itu, karena
dia adalah kuncinya. Keterlibatan atau mengikutsertakan adalah dua hal
yang harus mendasari seorang guru dalam memberikan pelayanan terbaik
kepada siswa” papar sekretaris Dinas Pendidikan Kalsel.
Berangkat dari situlah guru mengenal siswanya untuk menjadi mengerti
apa yang dibutuhkan siswa. Bukan sekedar hubungan formal antara guru dan
murid, namun mereka dapat menjadi seperti sahabat. Sehingga dapat
menumbuhkan keberanian siswa untuk mau berbagi dan berempati sesederhana
apapun ide dan wujudnya. Harus dipahami bahwa membaurkan siswa
disabilitas pada lingkungan normal bukan semata untuk kepentingan kaum
mereka saja. Namun kondisi ini akan melatih siswa nondisabilitas
sehingga mereka dapat menghargai perbedaan, meningkatkan toleransi,
memahami kebutuhan temannya yang menyandang disabilitas dan melahirkan
sikap empati yang tinggi. “Maka dari itu kurikulum sangat fleksibel
bagaikan gelang karet sesuai kebutuhan dan kondisi siswa, sehingga
pembelajaran harus berpusat pada siswa dan dilaksanakan dengan sistem
moving class” jelas Amka.
Amka pun yakin 52 sekolah regular yang ditunjuk menyelenggarakan
pendidikan inklusi di Kalsel mampu mendidik anak yang tidak hanya
melatih siswa untuk cerdas dalam aspek akademis semata, tetapi juga
cerdas secara social dan emosional. “Sebelum masuk sekolah inklusi,
siswa ABK akan dimasukkan terlebih dahulu ke Autis Center yang kini
sedang kita bangun. Ditempat inilah anak diberikan bimbingan sampai
benar-benar siap masuk sekolah regular”
jelas Amka.
jelas Amka.
sumber : http://pokja-inklusifkalsel.org/berita/detail/121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar